Farmakologi
pengertian farmakologi
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi, fisika, kegiatan
fisiologi, resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat
terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga
dapat menembus membran biologis.
Jika obat
diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka
tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri
dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisms (atau
biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase
ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
Fase Farmasetik :
Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut; oleh karena itu, farmasetik
(disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran
gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorbsi. Obat
dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi
partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses
ini dikenal sebagai disolusi. Obat dalam bentuk cair sudah dalam bentuk
larutan.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan
pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat
mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut.
Beberapa tambahan dalam obat seperti ion kalium (K) dan Natrium (Na)
dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan
dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk di absorbsi dalam saluran
gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium
atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorpsi
gaster bayi mempunyai pH yang tinggi (basa) daripada orang dewasa,
sehingga bayi menyerap lebih banyak penisilin.
Disintegrasi adalah pemecahan atau pil menjadi partikel-partikel yang
lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang
lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi. Rate
limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk
berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorpsi oleh tubuh.
Obat-Obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran
gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya,
obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam
cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 dari pada cairan basa. Orang muda
dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah, sehingga pada
umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi
terutama melalui lambung.
Obat-Obat dengan enteric-coated, EC (selaput enterik) tidak dapat
didisintegrasi oleh asam lambung, sehingga didisintegrasinya baru
terjadi jika jika berada dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet
enteric-coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama;
sehingga; oleh karenanya obat-obat yang demikian kurang efektif atau
efek mulanya menjadi lambat.
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran
dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa
lambung, sehingga cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan
konsentrasi obat.
Farmakokinetik :
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat.
Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah: absorpsi, distribusi,
metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi (atau eliminasi).
Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran
gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi
aktif, atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus
melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagain dari vili
ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka
absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti
insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh
enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi
(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan
proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran.
Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan
perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat
menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran
dengan proses menelan.
Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan
protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus
membran gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan
karier, baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membran.
Partikel-partikel besar menembus membran jika telah menjadi tidak
bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif atau negatif). Obat-obat
asam lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di dalam lambung,
dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam hidroklorida
merusak beberapa obat, seperti penisilin G; oleh karena itu, penisilin
oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan
lambung.
INGAT: Obat-obat yang larut dalam lemak dan
tidak bermuatan diabsorpsi lebih cepat daripada obat-obat yang larut
dalam air dan bermuatan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres,
kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri,
stres, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat
masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam
lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah
lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran
gastrointestinal.
Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih
cepat di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti
deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah,
sehingga absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah
absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena
porta. Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisasi menjadi bentuk yang
tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang
aktif Proses ini di mana obat melewati hati terlebih dahulu disebut
sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatik. Contoh-contoh
obat-obat dengan metabolisme first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan
morfm. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral, karena
kedua obat ini mengalami metabolisme first-pass yang luas, sehingga
sebagian besar dar dosis yang diberikan akan dihancurkan.
Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh
dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah,
afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan
dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan
protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda.
Obat-Obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal
sebagai obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu
contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam
(Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan
dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein.
Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya
yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas
atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat
menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas
dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan
dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari
obat yang dalam bentuk bebas.
Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan
bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan
dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke
dalam sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan
jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah
obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi
kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan
persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Jadi penting sekah untuk memeriksa persentase pengikatan dengan protein
dari semua obat-obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari
kemungkinan toksisitas obat. Seorang perawat juga harus memeriksa kadar
protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein
(albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein,
sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi.
Tergantung dari obat (obat-obat) yang diberikan, akibat dari hal ini
dapat mengancam nyawa.
Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat.
Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan
eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan
tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.
Metabolisme atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat
diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau
ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau
zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat
ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan
respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan
hepatitis, mempengaruhi metabolisms obat.
Waktu paruh, dilambangkan dengan t1/2, dari suatu obat adalah waktu
yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi.
Metabolisms dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada
kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih
panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika
suatu obat diberikan terns menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari
90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650 mg aspirin
(miligram) dan waktu paruhnya adalah 3 jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk
waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua
(atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan seterusnya,
sampai pada waktu paruh keenam (atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg
aspirin terdapat dalam tubuh. Waktu paruh selama 4-8 jam dianggap
singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap panjang. Jika suatu obat
memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin:. 36 jam), maka
diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut
seluruhnya. Waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut
mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan
kerja obat.
Ekskresi, atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu.
Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat
yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan
dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat
dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan
akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5
sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat
basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam urin
yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium
bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice
cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga
terbentuk urin yang asam.
Farmakodinamik :
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek
fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah
efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak
diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder
adalah difenhidramin (Benadryl), suatu. antiMstamin. Efek primer dari
difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek
sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa
kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai
mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena
menimbulkan sedasi ringan.
Mula, Puncak, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai
mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= minimum effective
concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi
tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat
mempunyai efek farmakologis.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang
lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu
menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja obat, puncak kerja,
dan lama kerja.
kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC,
maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
Teori Reseptor
Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel.
Obat-obat yang bekeria melalui reseptor, dengan berikatan dengan
reseptor maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat
(mencegah) respon. Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh
kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik
suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut semakin
aktif secara biologis. Ini serupa dengan memasukkan kunci yang tepat ke
dalam lubang kunci.
Obat-Obat yang menghasilkan respons disebut agonis, dan obat-obat
yang menghambat respons disebut antagonis. Isopreterenol (Isuprel)
merangsang reseptor beta 1, dan karena itu disebut sebagai agonis.
Simetidin (Tagamet), suatu antagonis menghambat reseptor H2, sehingga
mencegah sekresi asam lambung yang berlebihan.
Hampir semua obat, agonis dan antagonis, kurang mempunyai efek
spesifik dan selektif. Sebuah reseptor yang terdapat di tempat-tempat
yang berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis,
tergantung di mana reseptor itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik
terdapat di kandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru dan mata.
Sebuah obat yang merangsang atau menghambat reseptor-reseptor kolinergik
akan bekerja pada semua letak anatomis. Obat-Obat yang bekerja pada
berbagai tempat seperti itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki
nonspesifitas. Betanekol (Urecholine) dapat diresepkan untuk retensi
urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung kemih. Karena
betanekol mempengaruhi reseptor kolinergik, maka tempat kolinergik lain
ikut terpengaruh; denyut jantung menurun, tekanan darah menu-run,
sekresi asam lambung meningkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata
mengecil . Efek-efek lain ini mungkin diinginkan mungkin juga tidak, dan
mungkin berbahaya atau mungkin juga tidak berbahaya bagi pasien.
Obat-obat yang menimbulkan berbagai respons di seluruh tubuh ini
memiliki respons yang nonspesifik.
Obat-obat juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda.
Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau
memiliki non selektifitas. Klorpromazin (Thorazine) bekerja pada
reseptor-reseptor norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan histamin, dan
berbagai respons dihasilkan dari tempat-tempat reseptor itu . Salah satu
contoh lain adalah epinefrin. la bekerja pada reseptor-reseptor alfa,
betas, dan beta2
Obat-obat yang menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada reseptor
dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi hormon.
Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan,
penggantian, pencegahan atau membunuh organisms, dan iritasi. Kerja obat
yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau
meningkatkan sekresi dari kelenjar.
Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa
tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme
menghambat pertumbuhan sel bakteria. Penisilin mengadakan efek
bakterisidalnya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi. Laksatif dapat
mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan
peristaltik dan defekasi.
Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan.
Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan
pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat- obat
dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t1/2 nya 2 jam),
diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang,
seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika sebuah obat
dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari,
maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat
menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal,
maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang
tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.
Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), yang
perhitungannya seperti tertera di bawah, memperkirakan batas keamanan
sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis terapeutik
efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal (mematikan) pada 50% hewan
(LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin besar
bahaya toksisitasnya.
Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan
yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam
plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara
dosis efektif dan dosis !etal. Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi
mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam
menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu
dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik
yang tinggi.
Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus
berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk
memperoleh kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya. Jika batas
terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagman obat yang berikatan
dengan protein maupun yang tidak. Buku referensi obat memberikan banyak
batas terapeutik obat dalam plasma (serum). Jika batas terapeutik
sempit, seperti digoksin, 0,5-2 ng/mL (nano-gram per milimeter), kadar
dalam plasma perlu dipantau secara periodik untuk menghindari toksisitas
obat. Pemantauan batas terapeutik tidak perlu jika obat tidak dianggap
sangat toksik.
Kadar Puncak dan Terendah
Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat
pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya
mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat
diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10
menit. Sampel darith harus diambil pada waktu puncak yang dianjurkan
sesuai dengan rute pemberian.
Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan
menunjukkan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa
menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara
oral atau intravena. Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu
obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat.
Kadar puncak dan terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks
terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti aminoglikosida
(antibiotika) Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan
terjadi.
Dosis Pembebanan
Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar,
dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk
mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar,
maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu
preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali
diresepkan. Digitalisasi adalah istilah yang dipakai untuk mencapai
kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.
Efek Sampling, Reaksi yang Merugikan, dan Efek Toksik
Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek
obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping baik yang
diingini maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepat pun, efek
samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya. Efek
samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut,
seperti betanekol (Urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek
samping mungkin menjadi diinginkan, seperti Benadryl diberikan sebelum
tidur: efek sampingaya yang berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan.
Tetapi pada saat-saat lain, efek samping dapat menjadi reaksi yang
merugikan. Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang-kadang
dipakai bergantian. Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak
diinginkan (yang tidak diharapkan dan terjadi pada dosis normal) dari
obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat,
termasuk anafilaksis (kolaps kardiovaskular). Reaksi yang merugikan
selalu tidak diinginkan.
Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui
pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi,
untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas
terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat gang mempunyai indeks
terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi,
batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas
terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar Akan terjadi akibat dosis
yang berlebih atau penumpukan obat.