Selasa, 22 Oktober 2013

huknah

     Pengertian Huknah
Enema / Huknah adalah memasukkan cairan sabun yang hangat melalui anus rektum sampai kedalam kolon desenden dan asenden. Fungsinya adalah untuk mengeluarkan feses dan flaktus. Huknah dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan menurut cara kerjanya : cleansing ( membersihkan ), carminative ( untuk mengobati flakulance ), retensi ( menahan ), dan mengembalikan aliran. Dua jenis dari cleaning anema adalah high enema ( huknah tinggi ) dan low enema ( huknah rendah ). High enema diberikan untuk membersihkn kolon sebanyak mungkin, sering diberikan sekitar 1000ml larutan orang dewasa dan posisi klien berubah dari posisi lateral kiri ke posisi dorsal recumbeng dan kemudian ke posisi lateral kanan selama pemberian ini agar cairan dapat turun ke usus besar, cleaning enema paling efektif jika diberikan dalam waktu 5 – 10 menit.
Low enema diberikan hanya untuk membersih kan rektum dan kolon sigmoid. Sekitar 500 mL larutan diberikan pada orang dewasa dan klien dipertahankan pada posisi ke kiri selama pemberian.
Tujuan
1.      Untuk membersihkan usus.
2.      Untuk pengobatan.
3.      Membantu menegakkan diagnosa.
Indikasi
1.      Untuk persiapan pemeriksaan radiologi.
2.      Untuk persiapan opoerasi.
3.      Pada ibu yang akan melahirkan.
Kontraindikasi
1.      Tumor.
2.      Hemoroid (ambien).
2.   Carminatine Enema
Carminatina enema terutama diberikan untuk mengeluarkan flatus. Larutan dimasukkan ke dalam rektum untuk dimasukkan gas dimana ia merenggangkan rektum dan kolon, kemudian merangsang peristaltik. Untuk orang dewasa dimasukkan 60 – 180 mL.
3.   Retention Enema
Retention enema yaitu dimasukkan oil (pelumas) ke dalam rektum dan kolon sigmoid, pelumas tersebut tertahan untuk suatu waktu yang lama (1–3jam), ia bekerja untuk melumasi rektum dan kanal anal yang akhirnya memudahkan jalannya feses.
4.   Enema Yang Mengembalikan Aliran
Enema yang mengembalikan aliran kadang – kadang mengarah pada pembilasan kolon, digunakan untuk mengeluarkan flatus. Ini adalah pemasukan cairan yang berulang ke dalam rektum dan pengaliran cairan dari rektum.
Pemberian enema merupakan prosedur yang relatif mudah untuk klien. Bahaya utama adalah iritasi sabun dan efek negatif dari larutan hypertonik atau hipotania.
A.    PEMBERIAN HUKNAH
1.                                                                  HUKNAH RENDAH
Huknah rendah adalah tindakan keperawatan dengan cara memasukkan cairan hangat ke dalam kolon desendens dengan menggunakan kanula rektal melalui anus. Huknah rendah dilaksanakan sebelum operasi ( persiapan pembedahan ) dan pasien yang mengalami obstipasi.
Tujuan
1.      Mengosokkan usus pada pra – pembedahan untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan selama operasi berlangsung, seperti BAB.
2.      Merangsang buang air besar atau merangsang pristaltik usus untuk mengeluarkan fedses karena kesulitan untuk defekasi ( pada pasien sembelit ).
Alat dan bahan
1.      Pengalas
2.      Irigator lengkap dengan kanula rektal dan klem
3.      Cairan hangat ( 700 – 1000 ml dengan suhu 40,5°­­ – 43° C )
4.      Bengkok
5.      Jeli
6.      Pispot
7.      Sampiran
8.      Sarung tangan
9.      Tisu
Prosedur kerja
1.      Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien.
2.      Cuci tangan
3.      Atur ruangan dengan memasang sampiran bila pasien dirawat di bangsal umum.
4.      Atur posisi pasien dengan posisisi sims kiri.
5.      Pasang pengalas dibawah area gluteal.
6.      Siapkan bengkok di dekat pasien.
7.      Irigator diisi cairan hangat dan hubungkan kanula rektal. Kemudian periksa alirannya dengan membuka kanula rekti dan keluarkan air ke bengkok dan beri jeli pada kanula.
8.      Gunakan sarung tangan.
9.      Masukkan kanula kira-kira 15 cm ke dalam rektum ke arah kolon desendens sambil pasien diminta menarik napas dan pegang irigator setinggi 50 cm dari tempat tidur dan buka klemnya. Air yang dialirkan sampai pasien menunjukkan keinginan untuk defikasi.
10.  Anjurkan pasien untuk menahan sebentar rasa ingin defikasi dan pasang pispot atau anjurkan ke toilet. Bila pasien tidak mampu mobilisasi, bersihkan daerah sekitar anus hingga bersih dan keringkan denagn tisu.
11.  Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
12.  Catat jumlah feses yang keluar, warna, kepadatan dan respon pasien.
2.                                                                  HUKNAH TINGGI
Huknah tinggi adalah tindakan memasukkan cairan hangat ke dalam kolon asendens dengan menggunakan kanula usus. Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan umum.
Tujuan
Menggosokkan usus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti buang air besar selama prosedur operasi dilakukan atau pengosongan sebagai tindak diagnostik / pembedahan.
Alat dan bahan
1.      Pengalas
2.      Irigator lengkap dengan kanula rektal dan klem
3.      Cairan hangat ( 700 – 1000 ml dengan suhu 40,5° – 43° C )
4.      Bengkok
5.      Jeli
6.      Pispot
7.      Sampiran
8.      Sarung tangan
9.      Tisu
Prosedur kerja
1.      Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien.
2.      Cuci tangan.
3.      Atur ruangan dengan meletakkan sampiran bila pasien berada dalam bangsal umum atau bila pasien dirawat di ruang privat, cukup dengan menutup pintu kamar.
4.      Atur posisi pasien dengan posisi sims kanan.
5.      Pasang pengalas dibawah daerah anus.
6.      Siapkan bengkok dekat pasien.
7.      Irigator diisi cairan hangat sesuai dengan suhu badan dan hubungkan kanula usus, kemudian periksa aliran dengan membuka kanula usus dan mengeluarkan air ke bengkok dan be ikan jeli pada ujung kanula tersebut.
8.      Gunakan sarung tangan.
9.      Masukkaan kanula kedalam rektum ke arah kolon asendens (15-20 cm) sambil pasien diminta menarik nafaspanjang dan pegang irigator setinggi 30cm dari tempat tidur dan buka klem msampai air mengalir dan menimbulkan rasa ingin defekasi.
10.  Anjurkan pasien untuk menahan sebentar bila ada rasa ingin defekasi dan pasang pispot atau anjurkan ke toilet, bila pasien tidak mampu ke toilet bersihkan dengan menyiram daerah parineum hingga bersih dan keringkan dengan tisu.
11.  Cuci tangan.
12.  Ccatat jumlah, warna, konsistensi, dan respons pasien terhadap tindakan.
B.     PEMBERIAN GLISERIN PER REKTAL
            Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan cairan gliserin ke dalam poros usus dengan mengggunakan spuit gliserin. Tindakan ini dapat dilakukan untuk merangsang peristaltik usus sehingga pasien dapat defekasi (khususnya pada pasien yang mengalami sembelit) dan juga dapat digunakan untuk persiapan operasi.
Tujuan
1.      Merangsang buang air besar dengan merangsang peristaltik usus.
2.      Mengosongkan usus yang digunakan sebelun tindakan pembedahan.
Indikasi
1.      Pada penderita obstipasi.
2.      Persiapan operasi kecil.
3.      Untuk pemeriksaan.
Kontra indikasi
1.      Abortus imminens.
2.      Kanker rektum.
3.      Tipus abdominalis.
Alat dan bahan
1.      Spuit gliserin
2.      Gliserinn dalam tempatnya
3.      Bengkok
4.      Pangalas
5.      Sampiran
6.      Sarung tangan
7.      Tisu
Prosedur kerja
1.      Jelaskan prosedur pada pasien.
2.      Cuci tangan
3.      Atur ruangan, tutup pintu bila pasien dalam ruang rawat pribadi dan pasang sampiran bila pasien dirawat dalam bangsal umum.
4.      Atur posisi pasien (miring ke kiri)
5.      Ppasang pengalas di area gluteal.
6.      Siapkan bengkok didekat pasien.
7.      Spui diisi glieserin 10-20cc
8.      Gunakan sarung tangan
9.      Masukkan gliserinperlahan kedalam anus dengan cara tangan kiri meregangkan daerah anus, tangan tangan memasukkan spuit kedalam anus sampai pangkal kanula dengan ujung spuit diarahkan kedepan dan anjurkan pasien bernafas dalam.
10.  Setelah selesai, cabu dan masukkan spuit kedalam bengkok. Anjurkan pasien unuk menahan sebentar rasa ingi defeksi dan pasang pispot bila pasien tidak mampu ke toilet. Kemudian bersihkan daerrah perineum dengan air hingga bersih lalu keringkan denan tisu.
11.  Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
12.  Catat jumlah feses, warna, konsistensi, dan respons pasien.
EVAKUASI FESES SECARA MANUAL
Prosedur ini merupakan tindakan memasukkan jari ke dalam rektum pasien. Tindakan ini digunakan untuk mengambil atau menghancurkan massa feses sekaligus mengeluarkannya. Indikasi tindakan ini adalah bila massa feses terlalu besar dan pemberian enema tidak berhasil, konstipasi pada lansia.
Tujuan
Mengatasi impaksi fekal (pengerasan feses) yang tidak dapat dilakukan oleh enema.
Alat dan bahan
1.      Sarung tangan
2.      Minysk pelumas/jeli
3.      Alat penampung atau pispot
4.      Pengalas
Prosedur kerja
1.      Jelaskan prosedur pada pasien.
2.      Cuci tangan.
3.      Gunakan sarung tangan dan beri minyak pelumas atau jeli pada jari telunjuk. Atur posisi miring dengan lutut fleksi.
4.      Masukkan jari ke dalam rektum dan dorong dengan perlahan sepanjang dinding rektum ke arah massa feses yang impaksi.
5.      secara perlahan lnakkan massa dengan masase daerah feses yang impaksi
(arahkan jari pada inti yang keras).
6.      berikan pispot bila terasa ingin defekdsi atau bantu ke toilet.
7.      cuci tangan setelah prosedur dilaksanakan.
8.      catat jumlah feses yang keluar, warna, kepadatan (impaksi), serta respon pasien terhadap prosedur.
C. PEMBERIAN SUPPOSITORIA
            Beberapa cathartice diberikan dalam bentuk suppositoria ini bekerja dalam beberapa cara dengan menstimulasi ujung saraf di muosa rektal. Suppositoria seharusnya dimasukkan melalui spincker analditenus.
Untuk dewasa suppositoria dimasukkan sekitar 7,5 – 10cm ( 3 – 4 inch ), klien diinstruksikan untuk bernapas melalui mulut, karena pernafasan mulut dapat  merelaksaaikan spinckeranal. Untuk lebih efektif suppositoria harus ditempatkan sepanjang dinding rektum. Secepatnya setelah memasukkan obat suppositoria, pearawat membantu menekan pinggang klien supaya obat tidak keluar.
            Buka sarung tangan, dibalikkan, kemudian dicuci dengan air dan sabun. Secara umum suppositoria efektif.

Selasa, 01 Oktober 2013

PEMERIKSAAN DN

Pemeriksaan denyut nadi dapat dilakukan pada daerah arteri radialis pada pergelangan tangan, arteria brakhialis pada siku bagian dalam, arteri karotis pada leher, arteri temporalis pada samping muka bagian atas didepan-atas telinga, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, dan pada arteri frontalis pada bayi.

TEMPAT PENGUKURAN
Pengukuran denyut nadi dapat dilakukan di:
  • Arteri radialis pada pergelangan tangan
  • Arteri brachialis pada siku bagian dalam
  • Arteri carotis pada leher
  • Arteri temporalis pada pelipis
  • Arteri femoralis pada lipatan paha
  • Arteri dorsalis pedis pada kaki
  • Arteri frontalis pada ubun-ubun (untuk bayi)
TUJUAN :
  1. Mengetahui denyut nadi (irama, frekuensi, dan kekuatan)
  2. Menilai kemampuan fungsi kardiovaskuler
ALAT dan BAHAN :
  1. Arloji (Jam) atau stop-watch
  2. Buku catatan nadi
  3. Pena
Prosedur Kerja :
  1. Jelaskan prosedur kepada klien
  2. Cuci tangan
  3. Atur posisi pasien
  4. Letakkan kedua lengan pasien terlentang disisi tubuh
  5. Tentukan letak arteri (denyut nadi yang akan dihitung)
  6. Periksa denyut nadi (arteri) dengan menggunakan ujung jari telunjuk, jari tengah dan jari manis (ex : lihat gambar). Tentukan frekuensi per-menit dan keteraturan irama serta kekuatan denyutan
  7. Catat hasil
  8. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
DENYUT NADI NORMAL
-          Bayi             = 120 sampai dengan 150 kali/ menit
-          Anak           =   80 sampai dengan 150 kali/ menit
-          Dewasa      =   60 sampai dengan   90 kali/ menit
A

CA MAMAE



CA MAMAE


A. Pengertian
Ca. Mamae merupakan penyakit keganasan yang paling banyak menyerang wanita, disebabkan karena terjadinya pembelahan sel-sel tubuh secara tidak teratur sehingga pertumbuhan sel tidak dapat dikendalikan dan akan tumbuh menjadi benjolan tumor (kanker).
Ca mamae adalah sekelompok sel tidak normal pada payudara yang terus tumbuh berupa ganda. Pada akhirnya sel-sel ini menjadi bentuk bejolan di payudara. Jika benjolan kanker itu tidak dibuang atau terkontrol, sel-sel kanker bisa menyebar (metastase) pada bagian-bagian tubuh lain. Metastase bisa terjadi pada kelenjar getah bening (limfe) ketiak ataupun di atas tulang belikat. Selain itu sel-sel kanker bisa bersarang di tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah kulit.
(Erik T, 2005, hal : 39-40)

B. Etiologi
Sebab keganasan pada mamae belum jelas, tetapi ada beberapa faktor yang berkaitan erat dengan munculnya keganasan payudara yaitu:virus, faktor lingkungan, faktor hormonal dan familiar.
1. Wanita resiko tinggi dari pada pria
2. Usia,
3. riwayat keluarga
4. riwayat kesehatan
5. menikah tapi tidak melahirkan anak
6. riwayat reproduksi
7. tidak menyusui
8. obesitas
9. stress hebat
10. life style

C. Patofisiologi
Proses terjadinya kanker karena terjadi perubahan struktur sel, dengan ciri: proliferasi yang berlebihan dan tak berguna, yang tak mengikuti pengaruh jaringan sekitarnya. Proliferasi abnormal sel kanker akan mengganggu fungsi jaringan normal dengan menginfiltrasi dan memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar ke organ-organ yang jauh. Di dalam sel tersebut telah terjadi perubahan secara biokimiawi terutama dalam intinya. Hampir semua tumor ganas tumbuh dari suatu sel yang mengalami transformasi maligna dan berubah menjadi sekelompok sel ganas diantara sel normal.

D. Tanda dan gejala
1. Nyeri didaerah massa
2. Pengelupasan papilla mamae
3. Ditemukan lesi pada pemeriksaan mamografi
4. Adanya kerusakan dan retraksi pada area puting
5. Edema dengan ”peant d” orange (keriput seperti kulit jeruk)
6. Perubahan bentuk dan besar payudara, adanya lekukan kedalam tarikan dan refraksipada areola mamae.
7. Keluar cairan abnormal dari putting susu berupa nanah, darah, cairan encer padahal ibu tidak sedang hamil atau menyusui

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Mammagrafi, yaitu pemeriksaan yang dapat melihat struktur internal dari payudara, hal ini mendeteksi secara dini tumor atau kanker.
2. Ultrasonografi, biasanya digunakan untuk membedakan tumor sulit dengan kista.
3. CT. Scan, dipergunakan untuk diagnosis metastasis dematolog payudara pada organ lain
4. Sistologi emato aspirasi jarum halus
5. Pemeriksaan ematology, yaitu dengan cara isolasi dan menentukan sel-sel tumor pada peredaran darah dengan sendimental dan sentrifugis darah.

F. Komplikasi
Metastase ke jaringan sekitar melalui saluran limfe (limfogen) ke paru, pleura, tulang dan hati.

G. Penatalaksanaan
Ada 2 macam yaitu kuratif (pembedahan) dan paliatif (non pembedahan). Penanganan kuratif dengan pembedahan yang dilakukan secara mastektomi parsial, mastektomi total, mastektomi radikal, tergantung dari luas, besar dan penyebaran, kanker. Penanganan non pembedahan dengan penyinaran, kemoterafi dan terapi hormonal.

H. Cara Pencegahan
1. Kesadaran SADARI dilakukan setiap bulan
2. Jika menemukan gumpalan atau benjolan pada payudara segera kedokter.
3. Cari tahu apakah ada sejarah kanker payudara pada keluarga. Menurut penellitian 10 % dari semua kasus kanker payudara adalah faktor gen.
4. Berikan ASI pada bayi
5. Olah raga teratur
6. Kurangi makanan berlemak
7. Perhatikan BB, obesitas meningkat risiko kanker payudara
8. Rileks atau hindari stress berat. Menurunkan tingkat stress akan mengguntungkan untuk semua kesehatan secara menyeluruh termasuk risiko kanker payudara.
9. Usia.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN CA MAMAE

A. Pengkajian
1. Kaji reaksi pasien terhadap diagnosa dan kemampuan untuk mengatasi masalah tersebut
2. Kumpulkan riwayat kesehatan dan ginekologis yang lengkap
3. Ajukan pertanyaan yang berkaitan mencakup hal-hal berikut : ketrampilan koping, sistem pendukung, kurang pengetahuan dan adanya rasa tidak nyaman
4. Lakukan pengkajian fisik lengkap dengan perhatian khusus pada payudara tanda-tanda dan gejala-gejala massa yang berkaitan
5. Perasaan dan pikiran tentang seksualitas dan hubungan kanker payudara dengan perasaan-perasaan tersebut
6. Tujuan yang akan datang, harapan hidup atau kehidupan, semangat hidup dan tangguang jawab aktual terhadap yang lain

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut atau kronis berhubungan dengan agen injury fisik
2. Risiko infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasif penyakit.
3. Sindrom deficit self care berhubungan dengan nyeri, kelemahan

C. Intervensi
Dx I : Nyeri akut berhubungan denga injury fisik
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan tingkat kenyamanan klien
meningkat dan rasa nyeri terkontrol.
Kriteria hasil:
- klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri 2-3
- Ekspresi wajah tenang & dapat istirahat, tidur.
- Ttv dengan batas normal (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-
20x/mnt).
Intervensi:
- Kaji nyeri secara komprehensif ( Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi ).
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
- Berikan lingkungan yang tenang
- Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi nyeri.
- Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri.
- Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
- Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
- Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
Dx II : Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi, imunitas tubuh menurun, prosedur invasive.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan infeksi terkontrol.
Kriteria hasil :
- Bebas dari tanda & gejala infeksi
- Angka lekosit normal (4-11.000)
- Suhu normal (36-37 c)
Intervensi :
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
- Batasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ istirahat yang cukup
- Anjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien.
- Gunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.
- Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
- Gunakan baju, masker dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
- Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
- Lakukan perawatan luka dan dresing infus,DC setiap hari.
- Tingkatkan intake nutrisi. & cairan yang adekuat
- Berikan antibiotik sesuai program.
- Proteksi terhadap infeksi
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
- Monitor hitung granulosit dan WBC.
- Monitor kerentanan terhadap infeksi.
- Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
- Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
- Inspeksi keadaan luka dan sekitarnya
- Monitor perubahan tingkat energi.
- Dorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan latihan.
- Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.
- Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.
Dx III : Sindrom deficit self care berhubungan dengan nyeri, kelemahan
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan klien dan keluarga dapat merawat diri
Kriteria hasil :
- Kebutuhan klien sehari-hari terpenuhi (makan, berpakaian, toileting, berhias, hygiene, oral higiene)
- Klien bersih dan tidak bau.
Intervensi :
- Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri yang mandiri
- Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan, berhias
- Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat dir
- Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
- Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
- Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
- Dorong untuk melakukan secara mandiri tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
- Berikan reinforcement positif atas usaha yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

- Ramli M. Kanker Payudara.Dalam:Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalung EU. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995; 342-63.
- Tjindarbumi D. Deteksi dini kanker payudara dan penaggulanggannya. Dalam: Ramli M, Umbas R, Panigoro SS.editor.Deteksi Dini kanker. Jakarta: Balai Penerbit fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000: 32-49.
- Doenges M., (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
- Mansjoer, dkk, (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta

FARMAKOLOGI


pengertian farmakologi

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi, fisika, kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologis.Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisms (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
Fase Farmasetik :
Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorbsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi. Obat dalam bentuk cair sudah dalam bentuk larutan.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat seperti ion kalium (K) dan Natrium (Na) dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk di absorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorpsi gaster bayi mempunyai pH yang tinggi (basa) daripada orang dewasa, sehingga bayi menyerap lebih banyak penisilin.
Disintegrasi adalah pemecahan atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorpsi oleh tubuh. Obat-Obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 dari pada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah, sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung.
Obat-Obat dengan enteric-coated, EC (selaput enterik) tidak dapat didisintegrasi oleh asam lambung, sehingga didisintegrasinya baru terjadi jika jika berada dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet enteric-coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga; oleh karenanya obat-obat yang demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
Farmakokinetik :
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat.
Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah: absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi (atau eliminasi).
Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagain dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membran gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier, baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membran. Partikel-partikel besar menembus membran jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif atau negatif). Obat-obat asam lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam hidroklorida merusak beberapa obat, seperti penisilin G; oleh karena itu, penisilin oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan lambung.
INGAT: Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan diabsorpsi lebih cepat daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih cepat di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisasi menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif Proses ini di mana obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatik. Contoh-contoh obat-obat dengan metabolisme first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan morfm. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolisme first-pass yang luas, sehingga sebagian besar dar dosis yang diberikan akan dihancurkan.
Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-Obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas.
Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Jadi penting sekah untuk memeriksa persentase pengikatan dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas obat. Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat (obat-obat) yang diberikan, akibat dari hal ini dapat mengancam nyawa.
Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat. Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.
Metabolisme atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisms obat.
Waktu paruh, dilambangkan dengan t1/2, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi. Metabolisms dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terns menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650 mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah 3 jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua (atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan seterusnya, sampai pada waktu paruh keenam (atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg aspirin terdapat dalam tubuh. Waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap panjang. Jika suatu obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin:. 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya. Waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
Ekskresi, atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
Farmakodinamik :
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu. antiMstamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.
Mula, Puncak, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= minimum effective concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja.
kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
Teori Reseptor
Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel. Obat-obat yang bekeria melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis. Ini serupa dengan memasukkan kunci yang tepat ke dalam lubang kunci.
Obat-Obat yang menghasilkan respons disebut agonis, dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis. Isopreterenol (Isuprel) merangsang reseptor beta 1, dan karena itu disebut sebagai agonis. Simetidin (Tagamet), suatu antagonis menghambat reseptor H2, sehingga mencegah sekresi asam lambung yang berlebihan.
Hampir semua obat, agonis dan antagonis, kurang mempunyai efek spesifik dan selektif. Sebuah reseptor yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung di mana reseptor itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik terdapat di kandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru dan mata. Sebuah obat yang merangsang atau menghambat reseptor-reseptor kolinergik akan bekerja pada semua letak anatomis. Obat-Obat yang bekerja pada berbagai tempat seperti itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas. Betanekol (Urecholine) dapat diresepkan untuk retensi urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung kemih. Karena betanekol mempengaruhi reseptor kolinergik, maka tempat kolinergik lain ikut terpengaruh; denyut jantung menurun, tekanan darah menu-run, sekresi asam lambung meningkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata mengecil . Efek-efek lain ini mungkin diinginkan mungkin juga tidak, dan mungkin berbahaya atau mungkin juga tidak berbahaya bagi pasien. Obat-obat yang menimbulkan berbagai respons di seluruh tubuh ini memiliki respons yang nonspesifik.
Obat-obat juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki non selektifitas. Klorpromazin (Thorazine) bekerja pada reseptor-reseptor norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan histamin, dan berbagai respons dihasilkan dari tempat-tempat reseptor itu . Salah satu contoh lain adalah epinefrin. la bekerja pada reseptor-reseptor alfa, betas, dan beta2
Obat-obat yang menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada reseptor dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi hormon.
Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisms, dan iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar.
Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme menghambat pertumbuhan sel bakteria. Penisilin mengadakan efek bakterisidalnya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi. Laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defekasi.
Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat- obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t1/2 nya 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.
Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), yang perhitungannya seperti tertera di bawah, memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal (mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya.
Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis !etal. Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi.
Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya. Jika batas terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagman obat yang berikatan dengan protein maupun yang tidak. Buku referensi obat memberikan banyak batas terapeutik obat dalam plasma (serum). Jika batas terapeutik sempit, seperti digoksin, 0,5-2 ng/mL (nano-gram per milimeter), kadar dalam plasma perlu dipantau secara periodik untuk menghindari toksisitas obat. Pemantauan batas terapeutik tidak perlu jika obat tidak dianggap sangat toksik.
Kadar Puncak dan Terendah
Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel darith harus diambil pada waktu puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute pemberian.
Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukkan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti aminoglikosida (antibiotika) Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.
Dosis Pembebanan
Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalisasi adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.
Efek Sampling, Reaksi yang Merugikan, dan Efek Toksik
Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping baik yang diingini maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepat pun, efek samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya. Efek samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti betanekol (Urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi diinginkan, seperti Benadryl diberikan sebelum tidur: efek sampingaya yang berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan. Tetapi pada saat-saat lain, efek samping dapat menjadi reaksi yang merugikan. Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang-kadang dipakai bergantian. Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan (yang tidak diharapkan dan terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat, termasuk anafilaksis (kolaps kardiovaskular). Reaksi yang merugikan selalu tidak diinginkan.
Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat gang mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar Akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat.